Terima kasih Jakarta
Jakarta, hampir 3 bulan ini, membuatku menjadi semakin berpikiran terbuka. Terbuka sekaligus miris melihat kesemerawutannya. Sesaat muncul pertanyaan di kepalaku, "Yakin mau lanjut kerja di Jakarta?" Keramaian Jakarta seakan membuatku lupa akan apa tujuan dari aku datang dan memutuskan untuk bekerja di Jakarta. Rasa sepi kadang datang, walaupun aku ada di kota metropolitan yang ramai dan selalu terlihat sibuk dengan hiruk-pikuk orang-orang. Sesaat aku mencoba mencari waktu-waktu sendiriku untuk sekedar berdialog dengan hati dan jiwa ini, untuk sekedar bertanya kembali apa tujuan hidup ini, apa yang aku cari, dan apa yang bisa aku syukuri.
Penilaian bisa datang saat ada hal lain yang bisa dijadikan pembanding. Secara langsung ataupun tidak langsung orang biasanya akan menilai sesuatu hal atau seseorang yang lain. Adalah wajar saat kita punya penilaian terhadap sesuatu atau seseorang, yang penting adalah menyadari bahwa tiap penilaian bersifat relatif. Karena ini bukan merupakan penilaian seperti ujian pilihan ganda, jadi jawabannya bisa saja A, B, C, D, dan lain-lain.
Kembali ke obrolan tentang Jakarta. Saya bersyukur bisa memiliki kesempatan untuk mencari penghasilan, pengalaman, pengetahuan, dan pertemanan di Jakarta. Terima kasih, Jakarta. Terima kasih karena telah meyakinkan saya untuk tidak membangun keluarga dan membesarkan anak di Jakarta. Semoga.
Komentar