merenungi kembali esensi ibadah dan makna keikhlasan

Hari Kamis kemarin saya menghadiri Acara Buka Bersama temen2 Magister Kimia ITB 2008. Cukup mengesankan karena udah agak lama saya ga bertemu dan berbincang dengan mereka, secara setengah taun terakir kuliah magister saya, banyak saya habiskan di LKFM (Laboratorium Kimia Fisik Material). Akhir acara ditutup dengan tausiyah dari salah satu teman saya, sebut saja namanya Ilham. heuheu,,emg namanya Pak Ilham :P

Awalnya, beliau menceritakan tentang kaitan antara shaum dengan kesehatan, bahwa shaum ternyata bisa membuat badan ini sehat karena sistem pencernaan kita diajak untuk beristirahat sejenak pada saat menjalankan ibadah shaum dari waktu imsak sampai waktu Maghrib. Tapi bukan itu sebenarnya inti dari tausiyah yang beliau sampaikan, tapi lebih kepada tujuan dari ibadah yang kita lakukan. Sehat itu memang bisa tercapai setelah kita melaksanakan ibadah shaum, tapi sehat itu bukanlah "tujuan" dari shaum yang kita laksanakan. Tujuan ibadah yang kita laksanakan adalah tetap untuk meraih ridha Allah SWT, sedangkan menjadi sehat adalah efek atau manfaat atau bonus yang kita dapatkan. Bukan tujuannya. Jadi, bukan "saya mau shaum biar badan ini sehat", tapi "saya mau shaum karena ingin meraih ridha Allah SWT".

Berlanjut lagi ke perbincangan meraih ridha Allah SWT, yang berhubungan dengan keikhlasan. Ternyata, tujuan beribadah bisa dijabarkan lebih dalam lagi jika dilihat dari sisi keikhlasannya. Salah satu ayat Al Quran mengatakan bahwa syarat diterimanya ibadah adalah ibadah yang didasarkan atas keikhlasan. Ternyata ibadah yang ikhlas itu terdiri dari 3 hal:

1. Ikhlas beribadah untuk meraih ridha Allah SWT.
Yang ini kayaknya udah jelas maksudnya :)

2. Ikhlas beribadah "untuk" Allah SWT.
Maksudnya, beribadah hanya untuk Allah saja, bukan untuk dirinya sendiri atau untuk mendapatkan keuntungan terhadap dirinya sendiri. Keuntungan itu bukan menjadi tujuan, melainkan lebih kepada menfaat yang didapatkan dari beribadah. Seperti contoh "puasa bisa meningkatkan kesehatan" yang sudah dijelaskan sebelumnya.

3. Ikhlas beribadah "kepada" Allah SWT.
Maksudnya, beribadah hanya kepada Allah, bukan untuk dilihat orang lain, yang akhirnya menimbulkan sikap riya.

Sesaat saya merenungi kalimat-kalimat tersebut. Ya Allah,,sudah sampai manakah kadar keikhlasan saya, terutama dalam hal beribadah?

Tausiyah dilanjutkan kembali dengan tema doa. Berdoa juga merupakan ibadah. Sebagai suatu ibadah, berarti doa juga harus dilakukan secara ikhlas, meliputi 3 tahap keikhlasan yang telah dijelaskan sebelumnya. Lalu bagaimana berdoa yang ikhlas itu? Yaitu dengan menerima segala hasil dari doa tersebut karena Allah pasti mengabulkan doa hamba2-Nya, tapi dengan 3 cara:

1. Dikabulkan.
2. Ditabung dulu untuk nantinya dikabulkan di akhirat.
3. Tidak dikabulkan dan diganti dengan sesuatu yang lebih baik.

Kembali saya merenungi kalimat-kalimat itu. Sudah sampai manakah kadar keikhlasan saya dalam berdoa? Ya, saya mengakui bahwa masih ada resistensi dalam hati saya akibat memori2 masa lalu yang begitu menyakitkan bagi saya. Setahun ini saya belajar untuk menerima itu semua, walaupun harus tertatih-tatih, jatuh bangun, dan tidak jarang kebingungan sendiri. Saya sadar bahwa saya masih jauh lebih beruntung daripada orang2 lain yang mungkin mempunyai masalah lebih berat daripada saya, tapi entah kenapa hati saya kembali teriris jika saya ingat bahwa kekecewaan yang saya rasakan juga menjadi kekecewaan kedua orang tua saya. Sekian lama saya memendamnya sendiri sampai akhirnya saya bertanya pada diri saya sendiri, "apakah layak untuk dipendam sendiri?" Mungkin ga ada yang tau rasanya kayak gimana.. karna cuma aku dan dia yang tau apa yang sebenarnya terjadi. Ah, entahlah.. Saya cuma berharap bahwa Allah akan membantu saya memperbaiki bekas2 retakan yang ada di cermin kehidupan saya, yang pernah hancur ber-keping2, menjadi sebuah cermin yang utuh seperti sediakala.

Komentar

Postingan Populer