My mind in my long weekend
Hari ini entah kenapa aku merindukan bunyi BBM di HP-ku. Biasanya di long weekend seperti ini aku paling tidak suka diganggu dengan suara-suara yang bersumber dari HP-ku, mau itu BBM, SMS, email, apalagi telepon. Long weekend gitu loh. Please deh! Tapi tidak dengan hari ini. Aku rindu bunyi BB-ku. Apa-apaan ini? Hari ini adalah Hari Jumat dan tanggal merah yang artinya liburanku di akhir pekan bertambah 1 hari. Seperti biasa, tiap akhir pekan aku selalu pulang ke Bandung, ke rumah orang tuaku, untuk menghabiskan weekend, istirahat, jalan-jalan, bertemu teman kuliah, atau sekedar setor muka ke orang tuaku. Entah kenapa, sejak aku bekerja di suatu kawasan industri di daerah Cikarang ini aku merasa pulang ke Bandung tiap weekend menjadi suatu keharusan untukku, sekalipun di Bandung aku hanya menghabiskan waktu di rumah, memuaskan diri dengan internet rumah, menikmati kuliner Bandung, ataupun hanya sekedar menyenangkan diri dengan nonton Stand Up Comedy.
Hari Jumat nggak kerasa sudah lewat, dan akhirnya my me-time pun dimulai di rumah. Jumat ini full dipenuhi dengan acara bareng sekeluarga, plus kakak dan keponakanku yang lagi ada di Bandung juga. Masuk kamar, buka laptop, ambil HP, ambil earphone, pasang modem, pasang flashdisk. Aku akui aku memang cenderung multitasking yang bikin aku juga kadang sulit fokus. Saat sedang merampungkan suatu tulisan, otakku tiba-tiba mengingatkanku ke satu lagu yang aku dengarkan di mobil siang tadi. Peri Cintaku-nya Marcell. Otakku langsung menuntun jari-jari ini mencari lagu itu di laptop.
Aku ini tipe orang yang kalau lagi suka sesuatu lagu bakal dengerin lagu itu-itu terus sampe akhirnya bosen. Dan terbukti, malem ini lagu yang ada di Winamp-ku hanya 2, Dalam Hati Saja-nya Warna dan Peri Cintaku-nya Marcell. Dan biasanya lagu-lagu itu sedang jadi soundtrack-ku. Kenapa 2 lagu itu? Mellow amat ya.. Ah, sudahlah, walaupun mellow, biarkan saja 2 lagu itu jadi soundtrack-ku malam ini. Perasaan ini lagi nggak jelas sih memang sebenernya. Weeee,, curcol! :P
Kembali aku termenung mendengarkan lirik demi lirik Peri Cintaku-nya Marcell. Cerita tentang sepasang kekasih yang tidak bisa menyatu karena terhalang benteng perbedaan agama.
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi
Entah apa yang ada di pikiran sang penulis lagu saat sedang membuat lagu ini. Ada rasa sesak tiap kali mendengarkan lirik ini. Apa mungkin sang penulis terinspirasi dengan kisah nyata? Pernah dialaminya sendiri? Atau mungkin dari sekelilingnya? Nggak taulah. Kalau untuk saya sendiri, mendengar lirik lagu ini mengingatkan saya pada kisah nyata orang-orang di sekitar saya. Orang-orang terdekat saya yang mengalami kisah cinta yang sama seperti lirik lagu itu. Sebagai orang yang dekat dengan mereka, sekali lagi selalu ada rasa yang sesak tiap kali mereka menceritakan tentang tidak bisa bersatunya mereka karena benteng perbedaan keyakinan itu. Saat mereka harus tegas untuk menghentikan perasaan yang telah terlanjur membuncah di hati mereka karena benteng itu. Atau sebaliknya, salah seorang dari mereka harus dengan rela menghancurkan benteng itu demi melaju ke jenjang selanjutnya tanpa ada benteng penghalang lagi. Adalah suatu hal yang lebih menyesakkan lagi bagiku, sekalipun hanya sebagai pengamat dari pasangan-pasangan itu, saat mengetahui bahwa mereka akan tetap melaju meski benteng itu akan tetap menyertai perjalanan mereka.
Dan pada saat inilah, aku membutuhkan bunyi BBM itu, untuk membagi cerita yang baru saja semalam tadi aku dengarkan dari teman dekatku. Temanku yang akan melanjutkan perjalanan bersama pasangannya, sekaligus dengan benteng mereka. Aku tidak tahu mau dibawa kemana hubungan mereka selanjutnya. Nggak tau kenapa, aku kepikiran terus. Aku butuh dia membunyikan BB-ku untuk sekedar membaca ceritaku. Hanya untuk membaca ceritaku. Cukup. Tapi alih-alih BB-ku berbunyi, yang ada aku malah dikasi tanda silang. Haha, sial..
Akhirnya aku memutuskan untuk menenangkan pikiran ini dengan mendengarkan Cavatina-nya John Williams dari BB-ku, mematikan lampu kamar, dan memejamkan mataku di kasur sambil berbincang dengan hatiku dan dengan Tuhan tentang pergumulan batinku ini.
Tuhan, lepaskanlah aku dari pergumulan hati ini. Berikanlah jalan terbaik dari-Mu untuk kelanjutan kisah mereka.
Hari Jumat nggak kerasa sudah lewat, dan akhirnya my me-time pun dimulai di rumah. Jumat ini full dipenuhi dengan acara bareng sekeluarga, plus kakak dan keponakanku yang lagi ada di Bandung juga. Masuk kamar, buka laptop, ambil HP, ambil earphone, pasang modem, pasang flashdisk. Aku akui aku memang cenderung multitasking yang bikin aku juga kadang sulit fokus. Saat sedang merampungkan suatu tulisan, otakku tiba-tiba mengingatkanku ke satu lagu yang aku dengarkan di mobil siang tadi. Peri Cintaku-nya Marcell. Otakku langsung menuntun jari-jari ini mencari lagu itu di laptop.
Aku ini tipe orang yang kalau lagi suka sesuatu lagu bakal dengerin lagu itu-itu terus sampe akhirnya bosen. Dan terbukti, malem ini lagu yang ada di Winamp-ku hanya 2, Dalam Hati Saja-nya Warna dan Peri Cintaku-nya Marcell. Dan biasanya lagu-lagu itu sedang jadi soundtrack-ku. Kenapa 2 lagu itu? Mellow amat ya.. Ah, sudahlah, walaupun mellow, biarkan saja 2 lagu itu jadi soundtrack-ku malam ini. Perasaan ini lagi nggak jelas sih memang sebenernya. Weeee,, curcol! :P
Kembali aku termenung mendengarkan lirik demi lirik Peri Cintaku-nya Marcell. Cerita tentang sepasang kekasih yang tidak bisa menyatu karena terhalang benteng perbedaan agama.
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin, iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi
Entah apa yang ada di pikiran sang penulis lagu saat sedang membuat lagu ini. Ada rasa sesak tiap kali mendengarkan lirik ini. Apa mungkin sang penulis terinspirasi dengan kisah nyata? Pernah dialaminya sendiri? Atau mungkin dari sekelilingnya? Nggak taulah. Kalau untuk saya sendiri, mendengar lirik lagu ini mengingatkan saya pada kisah nyata orang-orang di sekitar saya. Orang-orang terdekat saya yang mengalami kisah cinta yang sama seperti lirik lagu itu. Sebagai orang yang dekat dengan mereka, sekali lagi selalu ada rasa yang sesak tiap kali mereka menceritakan tentang tidak bisa bersatunya mereka karena benteng perbedaan keyakinan itu. Saat mereka harus tegas untuk menghentikan perasaan yang telah terlanjur membuncah di hati mereka karena benteng itu. Atau sebaliknya, salah seorang dari mereka harus dengan rela menghancurkan benteng itu demi melaju ke jenjang selanjutnya tanpa ada benteng penghalang lagi. Adalah suatu hal yang lebih menyesakkan lagi bagiku, sekalipun hanya sebagai pengamat dari pasangan-pasangan itu, saat mengetahui bahwa mereka akan tetap melaju meski benteng itu akan tetap menyertai perjalanan mereka.
Dan pada saat inilah, aku membutuhkan bunyi BBM itu, untuk membagi cerita yang baru saja semalam tadi aku dengarkan dari teman dekatku. Temanku yang akan melanjutkan perjalanan bersama pasangannya, sekaligus dengan benteng mereka. Aku tidak tahu mau dibawa kemana hubungan mereka selanjutnya. Nggak tau kenapa, aku kepikiran terus. Aku butuh dia membunyikan BB-ku untuk sekedar membaca ceritaku. Hanya untuk membaca ceritaku. Cukup. Tapi alih-alih BB-ku berbunyi, yang ada aku malah dikasi tanda silang. Haha, sial..
Akhirnya aku memutuskan untuk menenangkan pikiran ini dengan mendengarkan Cavatina-nya John Williams dari BB-ku, mematikan lampu kamar, dan memejamkan mataku di kasur sambil berbincang dengan hatiku dan dengan Tuhan tentang pergumulan batinku ini.
Tuhan, lepaskanlah aku dari pergumulan hati ini. Berikanlah jalan terbaik dari-Mu untuk kelanjutan kisah mereka.
Komentar