Menunggu Lampu Hijau


 
Jam gadang. Raia tersenyum senang tiap melihat salah satu ikon Bukittinggi ini. Tempat yang selalu mengingatkannya pada sosok yang kini selalu lekat di ingatannya. Raia sedang menjadi event organizer untuk sebuah pameran fotografi di Bukittinggi saat akhirnya Raia berkenalan dengan Hangga, seorang fotografer asli Padang. Ternyata 7 hari bisa mengubah segalanya. Berawal dari bincang-bincang seputar fotografi, berbagi cerita tentang karier masing-masing, sampai akhirnya Raia tidak sadar bahwa Hangga telah menjadi tempat pelariannya dari sang mantan.

"Ngga, aku balik ke Jakarta Hari Minggu pagi. Pesawatku berangkat jam 8. Thanks for all ya Ngga.”

Hari ini adalah Hari Jumat. Hari terakhir Raia menjadi event organizer di Bukittinggi. Raia mengirimkan pesan melalu Blackberry Messanger (BBM) kepada Hangga. Tak lama, muncul tanda checklist di depan kalimat itu, kemudian diikuti dengan munculnya huruf D yang berarti pesan telah sampai di Blackberry (BB) si pemilik. Raia segera memasukkan BB-nya ke dalam tas, tapi tidak sampai 5 detik kemudian Raia menengok kembali ke layar BB-nya. Huruf D tadi belum berubah menjadi R. Huruf R yang menunjukkan bahwa pesan telah dibaca oleh sang pemilik BB. Raia sebenarnya menunggu balasan dari Hangga, walaupun kalimat pesan yang dikirimkan oleh Raia tidak mengandung pertanyaan yang harus dijawab. 

“Hhh...” Raia menarik napas panjang, seperti ada yang mengganjal pada perasaannya.

‘Gue ini apa-apaan ya? Gue ini dianggap apa ya sama dia? Jalan bareng udah kayak orang pacaran aja, ngobrol udah kayak orang pacaran juga, tapi nggak ada yang jelas antara gue dan dia. Pas sekalinya dia nanya gue sayang sama dia apa enggak, gue malah nggak jawab apa-apa. Alih-alih ngejawab gue malah nanya balik pertanyaan yang sama. Tapi keselnya, dia juga nggak jawab. Arggghh, dia nih maunya apa sih?’

Raia tiba-tiba tersadar dari lamunannya saat BB-nya berbunyi sekaligus bergetar. BBM dari Hangga.

“Rai, sorry baru bales, tadi BB-nya aku simpen di tas, nggak kedengeran. Sabtu malem ketemu dulu yuk. Biasa, di Jam Gadang, satu-satunya tempat yang kamu inget arah jalannya. Hehe,” akhirnya Hangga membalas BBM dari Raia. Raia tersenyum. Sesuai dugaannya, Hangga pasti minta bertemu sebelum Raia pulang.

“Okay Ngga, ketemu di Jam Gadang jam 8 malem ya. Aku ada acara dulu sama tim sampe jam 7 di hotel,” balas Raia, menyambut gembira ajakan Hangga.

“Sip. See you Rai”

See you Ngga”


Sabtu malam di Jam Gadang

“Rai, pokoknya hari ini kamu harus mau jadi model fotografi aku ya. Hari ini aku mau hunting banyak foto dengan setting Jam Gadang ini,” ucap Hangga. Menawarkan, tapi memaksa.

With pleasure, Mr. Hanggana Pradipta, tapi bayar ya,” jawab Raia sambil tersenyum lebar.

“Haha, iya, nanti dibeliin permen,” jawab Hangga sekenanya sambil mengacak-acak rambut Raia.

“Haha, sial! Emangnya aku anak SD apa dibeliin permen,” jawab Raia sambil menginjak kaki Hangga.

“Eh Rai, coba foto di deket traffic light itu deh.”

“Lah, kok di deket traffic light? Malu kali diliatin orang-orang di mobil yang lagi berhenti.”

“Udah deh, buruan kesana,” Hangga menggandeng Raia menuju lokasi pemotretan keinginan Hangga.
Raia sebenarnya kaget. Interaksi-interaksi seperti ini yang membuat perasaan Raia sebenarnya seringkali membuncah. Raia selalu senang tiap kali Hangga menggandengnya, sekalipun hanya saat menyeberang jalan. Raia selalu senang saat Hangga mengacak-acak rambutnya. Raia merasa disayangi.

“Ini maksudnya apaan sih aku disuruh foto disini? Kayak nggak ada pemandangan yang lebih oke aja Ngga,”

“Loh, ini oke banget lagi, Rai. Nanti aku kasih tau deh filosofinya,” jawab Hangga tidak peduli dengan segala komentar Raia. Dia tetap menikmati kegiatan fotografinya.

Raia memutar bola matanya, tidak mengerti dengan apa yang dimaksud fotografer satu itu.

“Jadi, filosofinya apa nih Pak Fotografer?”

Raia dan Hangga duduk bersebelahan dan melihat hasil foto di bawah traffic light itu.

“Kamu sadar nggak tadi aku motretnya agak lama?”

“Iya, terus?”

“Sebenernya aku pengen motret kamu pas lampunya warna hijau, makanya aku nunggu sampe warna lampunya berubah jadi hijau.”

“Karena?”

Hangga melanjutkan penjelasannya yang dipotong Raia, “karena aku pengen kamu juga ngasi lampu hijau buat aku bisa masuk melewati hati kamu Rai.”

“Haha, emang selama ini masih kurang hijau ya Ngga lampunya?”

Are you sure, Rai? Haha, soalnya aku ngerasa lampunya masih kuning sih.”

“Hahaha,” Raia dan Hangga tertawa bersama merayakan seremoni “lampu hijau” mereka.

Komentar

Postingan Populer