Pagi Kuning Keemasan



Belitung. Pulau ini selalu mengingatkanku pada pantai dan juga dia. Kalau saja waktu itu aku menolak ajakan Alita untuk trip ke Pulau Lengkuas ini, aku pasti tidak akan pernah bertemu dengan sosok yang selalu mengingatkanku pada sunrise.

"Boleh ikut duduk disini, Mas?" tanyaku saat itu, di pagi hari kala aku akan hunting foto sunrise dari pinggir pantai. Aku meminta izin duduk di gazebo yang sudah lebih dahulu ditempatinya.

"Boleh," jawab laki-laki itu dingin. Dia tampak asik dengan kuas dan palet di tangannya, menggoreskan warna-warna di atas kanvas yang ada di depannya.

Sunrise dan sunset adalah dua hal wajib yang harus aku dapatkan momennya saat trip ke pantai seperti ini. Walaupun aku fokus dengan kameraku dan selalu waspada menunggu momen-momen untuk diabadikan, mataku tetap tidak bisa tidak melirik-lirik ke arah lukisan yang sedang dia buat.

'Oo, ngelukis sunrise tho. Klasik. Kalo gue sekali jepret udah langsung dapet gambarnya, kalo dia musti main-main warna dulu. Tapi keren juga sih lukisannya. Hihi.'  

Aku berbincang dengan pikiranku dan terkaget saat dia tiba-tiba memperkenalkan diri dengan cuek-nya.

"Dafi," katanya sambil mengulurkan tangan.

"Eh, oh, iya, saya Kinanti," kataku sedikit gugup dan kaget, membalas jabat tangannya. ‘Nih anak freak juga ya. Tiba-tiba ngajak kenalan aja gitu,’ pikirku dalam hati.

"Hobi fotografi?" tanya Dafi, sedikit menoleh ke arahku saat bertanya, lalu kembali fokus ke arah kanvasnya, dan menyelesaikan lukisannya yang tinggal beberapa persen lagi.

"Iya, dari kecil," jawabku pendek, tidak tahu harus menjawab apa lagi, karena memang pertanyaan yang diajukan Dafi hanyalah yes-no question.

“Berangkat bareng Alita ya?” tanya Dafi.

Lho, kok kenal Alita?” tanyaku bingung.

“Iya, dia kan temen SMA aku. Kita satu flight kemarin. Aku liat kamu bareng Alita.”

“Oya?”

Cuma itu yang bisa aku jawab dari pertanyaan-pertanyaan Dafi karena kau tidak tahu harus membicarakan apa dengan orang asing yang baru ngajak kenalan ini. Tiba-tiba perhatianku kembali pada lukisannya dan aku jadikan itu sebagai topik obrolan.

“Suka ngelukis ya? Bagus komposisi warnanya,” kataku mencoba mencairkan suasana dan pura-pura serius mengomentari lukisannya, padahal aku tidak tahu-menahu masalah komposisi warna.

“Iya, dari kecil. Aku paling suka ngelukis sunrise,” jawab Dafi, diakhiri dengan satu senyuman ke arahku.

“Kenapa harus sunrise?” tanyaku penasaran.

“Karena sunrise punya makna yang dalam buat aku. Sunrise menandakan hari baru buat aku, dan itu mengingatkan aku untuk bersyukur bahwa aku masih diberi waktu untuk hidup sampai hari tersebut,” Dafi menceritakan filosofi sunrise nya sambil duduk di gazebo, di sebelahku, tidak lagi sambil melukis.

Dafi menarik napas panjang dan menatap lurus ke pemandangan indah di depan matanya yang sudah cerah, tidak kekuningan seperti saat momen sunrise beberapa saat lalu. Aku mengangguk-angguk setelah mendengarkan filosofi sunrise-nya, seperti seorang mahasiswi yang sedang mendengarkan kuliah dari dosennya. Dafi terlihat sangat dewasa saat menceritakan filosofi sunrise-nya. Dari tatapan matanya sekilas aku melihat sesosok pria yang sepertinya menyimpan banyak misteri.

“Key! Ya ampun, gue cariin dari tadi, ternyata ada disini,” Alita menghampiri kami berdua. ‘Key’ adalah nama panggilan Alita untuk aku.

“Tadi kan gue bilang mau hunting sunrise,” kataku.

“Oh iya ya? Hehe, gue kirain itu mimpi,” jawab Alita sambil tertawa.

Alita yang baru sadar kalau ada Dafi di lokasi yang sama langsung menyapa Dafi.

“Eh, hai Daf, gue pikir siapa tadi. Wow, lukisannya keren nih,” kata Alita antusias. Dafi hanya tersenyum.

“Eh Key, kenalin ini temen gue, Dafi. Ternyata kita satu rombongan trip. Gue lupa ngenalin ke elo kemarin.”

Aku tersenyum tipis dan menjawab, “kita udah kenalan kok tadi. Hehe.”

“Ooooh, oke deh.”

Dan Trip Belitung itupun menjadi awal kedekatan aku dan Dafi. Aku mulai nyaman menceritakan apapun kepada Dafi. Pun dengan Dafi, dia selalu punya cerita yang meaningful tiap harinya. Sebagai anak tunggal aku tidak pernah merasakan rasanya punya adik atau kakak. Dengan Dafi aku bisa merasakannya, bahkan lebih dari sekedar kakak. Sepertinya aku mulai menyukainya.

***
“Key,” Alita tiba-tiba menghampiriku dan berbicara dengan sedikit panik.

“Kenapa Al?” aku bertanya penasaran.

“Dafi, Key,” Alita berbicara sepotong-sepotong sampai membuat aku tidak sabar. Apalagi yang dia sebut adalah nama yang sudah 3 bulan ini menghilang entah kemana.

“Dafi meninggal Key. Leukimia,” jawab Alita lirih, sampai akhirnya air mata menetes di pipinya.

“Dafi? Leukimia?” aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tiba-tiba ada rasa sesak di dadaku.

“Iya Key. Tiga bulan kemarin Dafi mulai dirawat intensif di Singapura. Dia ngelarang gue untuk ngasi tahu elo. Sorry ya Key,” Alita menunduk.

‘Ah, Dafi. Kenapa semuanya harus kamu tutup-tutupi dari aku?’ aku berbicara dalam hati.

“Dan dia titip ini buat elo Key,” Alita menyerahkan sebuah kotak dari Dafi. Isinya adalah lukisan sunrise yang Dafi lukis saat kami pertama kali bertemu di Belitung dan sebuah surat yang ditulis tangan oleh Dafi.

Kinanti, terima kasih karena sudah mau menjadi tempatku mencurahkan semua ceritaku. Aku sayang kamu, tapi aku nggak pernah berani bilang karena toh percuma, hidupku nggak lama lagi. Sejak aku kenal kamu, kamu adalah pengganti sunrise-ku. Sorry ya, nggak pernah ngabarin selama aku di Singapore. Aku nggak mau kamu ngeliat aku di kondisi sakit. Tolong simpan lukisan sunrise-ku ini ya. Mudah-mudahan lukisan ini selalu mengingatkan kamu dengan filosofi sebuah ‘pagi kuning keemasan’ yang pernah aku ceritakan waktu kita ketemu pertama kali di Belitung.  

Komentar

Postingan Populer