Jangan Ambil Raka

"Dinda, kita makan pasta aja yuk di Plaza Ambarukmo," kalimat Raka yang tiba-tiba cukup mengagetkan Dinda yang sedang serius mengerjakan skripsinya.

"Eh, waduh, ngagetin aja lo Ka," Dinda melirik sejenak ke arah Raka yang duduk di sebelahnya, kemudian langsung menatap kembali layar laptopnya dengan serius. 

"Din, buruan," Raka kembali meminta Dinda untuk bergegas meninggalkan sejenak konsentrasinya pada layar laptop.

"Tadi itu kalimat pertanyaan atau suruhan sih? Gue kan belum bilang iya atau enggak, elo udah nyuruh-nyuruh buruan aja. Gue mau beresin ini dulu, lagian nggak begitu laper," jawab Dinda tegas, lagi-lagi dengan arah pandangan mata masih menatap layar laptop. 

"Bohong banget lo, masa dari kemarin malem nggak makan sekarang nggak laper sih?" kata Raka.

Dinda memutar bola matanya karena kesal dengan Raka yang mulai bernada memaksa. 

"Ka, gue udah deadline nih. Lo bantuin gue kek, daripada ribut terus dari tadi," Dinda berkata datar dan mencoba sabar.

"Sini, gue bantuin. Mau dibantuin apa?" tanya Raka, terlihat bahagia karena merasa lebih dianggap daripada sebelumnya.

"Beneran mau bantuin gue? Kalo mau, gue minta tolong ya Ka, minta tolong jangan gangguin gue. Terima kasih sebelumnya," Dinda menatap Raka lalu tersenyum singkat dan langsung kembali pada kesibukannya.

"Yah, gue pikir apaan. Ya udah deh, gue nggak bakal gangguin, gue mau main game aja di sebelah lo, gue pake headset, jadi nggak bakal ribut," jawab Raka.

"Good," jawab Dinda singkat. 

Dinda dan Raka. Dua orang yang sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMA. Sama-sama anak tunggal dan sama-sama haus akan sosok saudara kandung, namun memiliki karakter yang bertolak belakang. Dinda cenderung koleris, sedangkan Raka cenderung plegmatis. Perbedaan karakter ini yang justru membuat mereka saling melengkapi satu sama lain. Idealis, adalah hal yang sama-sama miliki. Mereka aktivis kampus walaupun berjalan dengan jalur yang berbeda. Mereka benci cara kekerasan dan demonstrasi. Mereka lebih suka advokasi.

Satu jam berlalu sejak Dinda dan Raka larut dengan aktivitas dari laptopnya masing-masing. 

"Din, udah sejam lewat dari jam makan siang nih, masa masih belom laper juga sih? Gue mau beli makan deh, lo gue beliin ya," kata Raka yang sudah kelaparan.

"Nah, that's better, Ka. Dari tadi kek inisiatif begitu. Hehe," jawab Dinda.

"Yeee, dasar lo! Gue beliin yang seperti biasa lo pesen ya. Jangan kemana-mana sebelum gue balik ya," kata Raka.

"Siap!" kata Dinda sambil hormat ke arah Raka dan sedikit nyengir. 

Satu setengah jam berlalu sejak Raka meninggalkan Dinda. Letak Plaza Ambarukmo tidak jauh dari tempat mereka berada. Seharusnya Raka sudah kembali. Dinda sudah mulai kelaparan dan kesal karena BB Messenger yang dia kirim belum terbaca oleh Raka. Tiba-tiba ada telepon masuk dari nomor Raka. Dinda langsung mengangkat telepon.

"Raka, lo dimana aja sih? Ngerjain gue lo ya? Laper banget nih gue. Nyerah deh gue," kata Dinda langsung memberondong dengan kata-kata sebelum si penelepon berkata satu kata pun.

"Maaf, ini dengan Mbak Dinda ya? Saya Budi Mbak, dari Rumah Sakit Arwilatma. Mbak temannya Raka Argajaya?"

"Ya," jawab Dinda.

"Begini Mbak, kami mau mengabarkan kalau Mas Raka masuk rumah sakit, tadi terluka terkena lemparan batu waktu ada tawuran di dekat Plaza Ambarukmo. Kondisinya sekarang kritis, butuh tambahan darah."

Deg! 

Dinda terhenyak mendengar kabar tersebut. Dirinya marah. Dirinya yang benci dengan kekerasan tiba-tiba geram. Dinda bergegas ke rumah sakit.

Imagine all the people living life in peace

Komentar

Postingan Populer